BeritaDaerah

Merasa Dirugikan Direktur PT. KKP Wadul Ke DPRD Sidoarjo

149
×

Merasa Dirugikan Direktur PT. KKP Wadul Ke DPRD Sidoarjo

Sebarkan artikel ini

Sidoarjo, Arjunanusantaranews.com, – Merasa dirugikan direktur PT. Kembang Kenongo Properti (PT. KKP) wadul ke DPRD Sidoarjo. Terkait jual beli tanah yang awalnya dikatakan sebagai tanah cuilan yang ada di Dusun Klangri Desa Sidokerto Kecamatan Buduran Sidoarjo kini menjadi persoalan hukum. Eko sebagai Direktur PT. Kembang Kenongo Properti (PT. KKP) mencari keadilan dengan mengadu ke DPRD Sidoarjo. Melalui Komisi A yang membidangi hukum dan pemerintahan.

Dalam rapat pertemuan audensi hari ini, Selasa (22/4/2025) di ruang rapat Paripurna DPRD Sidoarjo. telah hadir Ketua komisi A DPRD Sidoarjo H.Rizza Ali Faizin bersama anggota komisi A, Rizal Fuady, Bambang Riyoko, Elok Suciati dan Muchammad Rafi Wibisono serta Camat Buduran Suprayitno, Plh. Kades Sidokerto Subagyo dan Sekdes, BPN, Dinas PMD dan BAKD.

Karena merasa dirugikan direktur PT. Kembang Kenongo Properti (PT. KKP)
wadul ke DPRD Sidoarjo. Dalam rapat audensi tersebut telah dipimpin oleh H.Rizza Ali Faizin sebagai Ketua komisi A DPRD Sidoarjo, dengan mengucapkan terima kasih kepada semua anggota komisi A yang hadir serta undangan atau yang mewakili pada pertemuan hari ini. Dengan begitu rapat telah dibuka dan memberikan ruang pertama kepada Eko sebagai Direktur PT. KKP untuk menyampaikan apa yang menjadi tuntutan pada audensi hari ini.

Merasa dirugikan direktur PT. Kembang Kenongo Properti (PT. KKP) wadul ke DPRD Sidoarjo. Eko menyampaikan bahwa terkait jual beli tanah cuilan seluas 4000 meter persegi lebih dari ahli waris Soleh Hambali yaitu H. Kastain.
Tanah tersebut sudah menjadi sebuah bangunan perumahan. Awal dari pembelian tanah tersebut telah diberi selembar leter C atas nama H. Hambali. Setelah itu diperkuat surat tidak sengketa dari Lurah dan telah disempurnakan ke Notaris surat- surat yang dibelinya.

Setelah hampir dua tahun tidak ada masalah atau problem sampai tanah kita bangun. Baru dua tahun ini ada laporan dari salah satu LSM Sidoarjo, bahwa tanah itu dianggap tanah kas desa (TKD). Dan perumahan itu sudah ada yang menempati semua, kami hanya minta bagaimana untuk penjelasan tanah ini, supaya tidak ada perselisihan, keluh Eko.

Andi dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa ( DPMD) telah menyampaikan bahwa ini masih di proses dipengadilan dan hari rabu besok adalah jawaban yang pertama. Menurut hemat kami tetap kami tunggu proses yang telah berjalan, baik di kejaksaan dalam proses penyidikannya maupun dipengadilan.

H.Rizza Ali Faizin ketua Komisi A menyampaikan kepada para awak media bahwa perihal ini dalam proses hukum, jadi sudah kemarin beberapa fakta – fakta yang ada masih dalam proses praperadilan. Dan ini semua pihak kita hadirkan dengan Pemerintah Desa sampai beberapa dinas terkait biar menyampaikan data-data yang ada buat referensi pak Eko dan tim dalam persidangan. Jadi ini buat catatan kita bersama bahwa memang hari ini kondisi dilapangan kadang secara vaktual begitu adanya, tetapi secara administrasi kadang tidak sesuai ini menjadikan hati-hati untuk masyarakat yang investasi di Kabupaten Sidoarjo lebih hati-hati lagi bener-bener dipastikan titik- titik obyek yang akan dibeli biar tidak menjadikan permasalahan hukum.

Terkait dengan nasib lima puluh dua user, tetap kita menunggu karena belum keputusan Pengadilan. Jadi nanti setelah putusan pengadilan baru kita pikirkan bersama. Karena kita ngawal kasus ini, dan ini baru diketahui semua dokumen- dokumen tadi tidak ada yang menyertakan bahwa itu aset. Jadi nanti kita masih perlu pertegas, perjelas statusnya biar di Pengadilan. Setelah itu kita tindak lanjuti perkara ini, seperti apa user kedepannya, ungkap Rizza.

Begitu juga Iskandar Laka, S.H., M.H. sebagai Penasehat Hukum (PH) Eko, menyampaikan kepada Arjunanusantaranews.com, bahwa ada tiga point perihal yang disampaikan pada hearing ini, yang pertama bawah Eko membeli tanah itu secara etikat baik dari ahli waris Soleh Hambali yaitu H. Kastain. Dibelakang di kemudian hari terjadi adanya tanah itu dianggap masalah karena masuk dalam pidana korupsi yang dianggap aset desa, itu diluar dari tanggung jawab pembeli (Eko).

Seharusnya itu tanggung jawab Lurah juga penjual. Dan Eko ini dalam posisi sebagai korban. Hanya kita meminta keadilan lewat hearing di DPRD untuk memberi solusi terkait dengan status tanah itu. Apakah sebagai tanah aset desa atau tanah adat, seandainya surat-surat itu dilakukan kepala desa tidak sesuai mekanisme atau prosedur dalam mengeluarkan sporadik, itukan kekeliruan seorang pejabat atau seorang kepala desa,bukan kesalahan dari pembeli.

Yang kedua terkait dengan Kenapa kalau di anggap leter C yang dikeluarkan kepala desa itu Palsu, kenapa tidak sejak dari awal BPD maupun tokoh-tokoh masyarakat merasa surat tanah yang dikeluarkan itu palsu, mengapa mereka tidak protes. Atau mereka laporkan pemalsuan surat, karena yang di rugikan mereka, ungkapnya.

Yang ketiga terkait dengan klien kami melakukan upaya perdata. Jadi proses perdata itu terkait dengan status tanah. Seharusnya proses pidana itu juga berbarengan atau menunggu putusan dari perdata terkait status tanah itu. Tapi karena Jaksa menganggap ini pidana khusus atau tindak pidana korupsi maka dia melakukan proses sesuai prosedur. Dengan melihat proses perdata yang ada ini memerlukan waktu kurang lebih empat bulan, kita sudah mendapatkan putusan.

Putusan itu sendiri kita lihat, apakah dari pihak tergugat itu nanti ada upaya hukum. Sedangkan untuk pidananya jangka waktu mereka proses pidana itu hanya dibatasi tiga bulan.

Dan terkait proses pidana korupsi ranahnya di Kejaksaan endingnya mereka menunggu kepastian hukum dalam proses persidangan bahwa orang-orang yang diduga melakukan penyalahgunaan wewenang maupun turut serta diputus bersalah, sehingga bisa dilakukan upaya- upaya berikutnya seperti penyitaan terhadap aset.

Untuk perdata kita fokus kepada status tanah, bahwa itu aset desa atau tanah adat. Dengan dilakukan hearing ini sebenarnya kita hanya meminta kepada DPRD sebagai dewan yang mewakili kepentingan-kepentingan masyarakat. Bahwa telah terjadi satu penjualan tanah yang di anggap aset desa. Padahal tanah itu sendiri dalam status tanah yang di keluarkan oleh kepala desa yang dikatakan adalah sebagai tanah adat.

Kami berharap pada hari ini output bisa mendapatkan kejelasan dari para pihak yang terlibat, pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *